Ai S Dewi
Pagi-pagi udara sangat cerah. Matahari bersinar dengan sangat cantiknya. Angin sepoi-sepoi membisikkan kerinduan yang tertunda. Burung bernyanyi dengan sangat merdunya. Di jendela sebuah rumah terlihat sepasang mata menatap nanar ke depan. Terlihat genangan air du sudut kiri kanan matanya. Napasnya terdengar lirih tak bertepi. Bibirnya seolah terkunci. Ya... Kasih terlihat menahan segala rasa yang mebuncah di dadanya.
" Kamu anakku, tapi bukan darah dagingku" ucapan itu masih terngiang di telinganya.
"Lalu aku anak siapa Ayah?" Kasih terdengar suaranya berat dan memandang ayahnya.
" K a m u u u anak ..." ayah Kasih tak melanjutkan ucapannya. Dia malah mengambil jaket dan pergi meninggalkan Kasih dalam kebingungan. Sepenunggal ayahnya Kasih menangis sejadi-jadinya. Dia keluarkan segala bentuk kekecewaan pada ayahnya. Kalau dia bukan anaknya kenapa tak pernah diceritakan. Sampai tak terasa Kasih tertidur dalam tangisan. Dia terbangun saat matahari sudah condong ke barat. Dia lalu membersihkan badannya. Dia ingin menghanyutkan perihnya bersama air dari kran mandi. Sore hari ayahnya pulang tetapi tetap saja tidak memberikan jawaban yang memuaskan hatinya.
Setelah berpikir beberapa hari, Kasih akhirnya memutuskan untuk mencari ayahnya. Dalam hatinya berpikir bahwa apapun yang terjadi dia harus menemukan ayahnya. Tapi dia bingung harus kemana dan bagaimana. Saat mau pamitan ke ayahnya, ternyata beliau sudah duduk di meja makan dan melambaikan tangannya. Memberiku kursi untuk duduk dan sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu.
" Nak setelah bapak pikir, bapak harus memberitahumu bahwa ayahmu itu adalah laki-laki tua yang tempo hari kau temui. Dialah ayahmu. " Bapak berkata pelan. "Aku bertemu dengan bapak-bapak itu sering dan banyak, tapi yang mana? " ujarku pelan.
" Dia... dia itu ayahmu. " teriak Bapak sambil menunjuk televisi. Aku menoleh dan terhenyak lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar